Banyuwangi | Acara tahunan Gandrung Sewu yang digelar pada 25 Oktober 2025 di Pantai Marina Boom Banyuwangi kembali menuai sorotan tajam dari masyarakat. Pasalnya, acara yang diklaim sebagai “hiburan rakyat” itu justru mewajibkan masyarakat membayar tiket masuk, meskipun digelar di fasilitas umum dan menggunakan anggaran APBD.
Kebijakan ini dianggap menciderai makna “hiburan rakyat” yang seharusnya bisa dinikmati secara gratis. Rakyat Banyuwangi mempertanyakan: kenapa untuk menikmati acara budaya milik mereka sendiri, harus membayar di tanah mereka sendiri?
“Yang namanya hiburan rakyat, seharusnya menjadi ruang kebahagiaan bersama, bukan ruang pungutan. Kalau rakyat harus bayar untuk menikmati miliknya sendiri, itu bukan hiburan, itu penipuan yang dibungkus budaya,” tegas Raden Teguh Firmansyah, Aktivis Filsafat Logika Berpikir.
Dalam sambutannya, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani mengklaim bahwa angka kemiskinan di Banyuwangi menurun dan pembangunan daerah terus meningkat.
Namun, menurut Raden Teguh, pernyataan itu hanyalah narasi ilusi, bukan data nyata.
“Sambutan Bupati itu bukan laporan, tapi dongeng.
Seperti surat palsu untuk menipu pejabat pusat agar mengira Banyuwangi baik-baik saja, padahal rakyatnya sedang terpuruk,” ujar Raden dengan nada getir.
Raden menilai bahwa sambutan semacam itu hanyalah pertunjukan politik, bukan refleksi kepemimpinan. “Banyuwangi sedang digerogoti penjajahan versi baru, penjajahan tanpa senjata, tapi dengan investasi asing dan kemasan seremonial,” ujarnya.
Raden juga menyoroti sikap diam pemerintah daerah terhadap kerusakan alam di Tambang Emas Tupang Pitu. Menurutnya, ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap bumi Banyuwangi yang kaya namun terus dikuras oleh modal asing.
“Bupati tak pernah berani bicara soal Tumpang Pitu, karena di sanalah wajah kekuasaan disembunyikan.
Gunung dijual, isi bumi dirampas, dan rakyat hanya diberi tontonan festival agar lupa bertanya,” tegas Raden.
Ia menyebut bahwa festival dan acara budaya kini dijadikan selimut politik, digunakan untuk menutupi luka lingkungan dan kemiskinan yang tak terselesaikan.
“Pemimpin Panggung, Bukan Pemimpin Bangsa”
Dalam refleksi filsafat logikanya, Raden menyebut bahwa Banyuwangi tidak akan pernah maju jika dipimpin oleh pemimpin yang hanya pandai berpikir dalam lingkaran seremonial.
“Pemimpin yang hanya sibuk dengan festival sama saja seperti boneka yang menari di panggung kekuasaan.
Banyuwangi tidak butuh penari di kursi bupati, Banyuwangi butuh pemikir yang berani berdiri di hadapan rakyat,” ungkapnya tajam.
Ia menilai, Bupati Ipuk Fiestiandani lebih senang bermain di ranah “hiburan mata” ketimbang membangun birokrasi yang kuat dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Raden menutup opininya dengan ajakan reflektif: agar rakyat Banyuwangi tidak lagi dibuai oleh gemerlap panggung seremonial. Menurutnya, kebohongan yang dibungkus budaya tetaplah kebohongan, dan rakyat harus kembali menggunakan akal sehatnya untuk menilai kepemimpinan.
“Budaya tanpa kejujuran hanyalah sandiwara, dan pemimpin tanpa moral hanyalah pelakon yang menari di atas penderitaan rakyat,” pungkas Raden Teguh Firmansyah, Aktivis Filsafat Logika Berpikir.


